Kamis, 28 Januari 2010

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk keduamempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh HasanAl-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur RumahSakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.…”
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsipernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungaiNil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akandisampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nantimungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengankesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol ditelevisi itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkahmenuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuanberbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yangtegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsungshoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagangkacamatanya, lalu…
Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnyapara ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali iniperkenankan saya bercerita…Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukancerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambilhikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglahlumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkankesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.Tiga puluh tahun yang lalu …Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah keatas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormatdi negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluargaaristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolanSorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elitpolitik di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalamsuasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidupsepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluargabesar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat ataukalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Sayamerasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakankeluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebihmerasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawahyang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal initernyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dantidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orangyang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggapmemalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampumengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah denganselera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur didalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalahhotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan denganistana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kalisaya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agarlebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliaumenolak mentah-mentah.
“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantahhabis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuhpesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dankemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relunghatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dankecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telahmenemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cintaini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Makadatanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kamiingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati padakeluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dansaudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dankecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaianserta tutur bahasanya yang halus.Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu sayaberitahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelasyang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidakboleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahandengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak sayanyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang takterkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlakusedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukangcukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan denganbangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baikkepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyakdilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidakmengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdirisendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawapacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibulangsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adilseperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidakdirestui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang keberapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup daristrata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacaradik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabatkeluarga besar Al Ganzouri.”Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayahsaya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamatsudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yangjelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidupsaya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasanganbercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selainmenikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakinikebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Denganpenuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapanbeliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwatailla billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahuipenolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkanputrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebihkeras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikahdengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahanini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolakkarena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanyakenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiripenderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantorma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akadnikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terimanikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kitasepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mataAllah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkankesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kamimembuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitumencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dansegala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawaapa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uangsebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayarongkos akad nikah di kantor ma’dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragislagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu dijalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat padapuncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsaracampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kacabertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasaberdaya dan hidup menjalari sukma kami.“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.Maafkan Kanda!”“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telahberpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisamenghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kandatetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepadamereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatuketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kitaberikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kitasaat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasaoptimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagiteringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dansebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaandan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk diemperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalamkebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkinkami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisauang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yangmurah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembalibahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginyaberdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang danperjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasilmenemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagikaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalahuntuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayanganmereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jikaseorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagaimendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedangmembutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan danuang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kamipergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuahkasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dansatu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itusaja… tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetapbahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaanmelebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagiaadalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di duniamerindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhancinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikangambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jikapercintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat darisemua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang palingnikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saatAllah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhakmenikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an danSunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhakmemperoleh segala cinta di surga.Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurusmendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiadaputus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyahyang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalahdokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yangberkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpabantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandaimengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelahmembayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipunmencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan deritahidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yangbilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapakami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecillayaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agarmenitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokteryang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantumembersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolonganmereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kamiterima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggilsama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkanmereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedordan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segalaperkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitujuga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya merekarobek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalumereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena beranimenentang Tuan Pasha.”
Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itupangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berduaberpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalukami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yangberserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yangsobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Mejadan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidurkecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilahsumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hiduptenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancangskenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tunasusila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapakkaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkanniat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasilmemperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agarmenceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidakmenjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakansaya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil memintabeliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turunmarahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkansegala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahunpenuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidakada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatanisteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatanhamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan diamendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat AllahSWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepadakekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malamitu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Iatersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorangpenyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langitKukatakan kepadanyaDi sana… di atas lautan pasir kita akan berbaringDan tidur nyenyak sampai subuh tibaBukan karna ketiadaan kata-kataTapi karena kupu-kupu kelelahanAkan tidur di atas bibir kitaBesok, oh cintaku… besokKita akan bangun pagi sekaliDengan para pelaut dan perahu layar merekaDan akan terbang bersama anginSeperti burung-burung
Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapadan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun diaternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk programMagister bersama!
“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saatpaling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagaidokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidakberperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelarMagister dan menjawab logika yang saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawarandari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabarsebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguksum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kitawujudkan mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atauketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku punluluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dankekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasukihidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhankuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kamihidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yangkami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam harikami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalamsuatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obatidengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untukbeli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesalatau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepadasaya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnyahidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakanyang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luarbiasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasasayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalahwajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akanmengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengansenyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambiltersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelarMagister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kamibelum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masihhidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enakdalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kamiberhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untukpertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenalhidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembalitidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua diHeliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelahmemiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembalimengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program DoktorSpesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor diLondon. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnyakita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup dinegara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelarDoktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialisjantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja barudi Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagaidirektur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajardi Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai diadengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka danduka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnyamenunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidupbahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidupmenderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swtdan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirinsekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menundukdi barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab HudaSulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaanbisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosokperempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuanitu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata HudaSulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dansegenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.


(Sumber: http://lenijuwita.wordpress.com)

Calon Buat Ajeng

Calon Suami???!
Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di rumah, selain soal suami.
Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan menceramahiku.
”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga. Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”
”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih, kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.
”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.
”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.
Huhh, dasar kembar!
***
”Ajeng…!”
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan.
Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….
Benar saja.
“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”
”Boy, Tante!”
”Eh, iya. Boi!”
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”
Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami. Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!
***
Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?
”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.
”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak, sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astaghfirullah!
”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan, milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia akhirat!”
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.
”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup suara kaset murattal terdengar.
Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya rupanya.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua, lagi!
”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.
”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami yang tak kunjung datang.
”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah ingin memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….
Tanganku masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.
***
Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.
”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka. Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi Tante Ida bersemangat.
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.
”Junaedi. Panggil aja Juned!”
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang diajukannya.
Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis lokomotif uap jaman dulu!
Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.
”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha….”
Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.
”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.
”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned. Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”
Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami. Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.
***
Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh. Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak penumpang yang lain.
”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….
”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang. Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu orangnya.”
Duhh, Mami!
Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar ceramah di Wali Songo, pekan depan.
Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.
Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah memperlebar jurang perbedaan.
”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan perhatian.
”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana, hingga Ajeng sulit memahami?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”
Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.
”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.
Tampak Saleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Rani meledak.
Duhhh, Mami!!!
***
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah Mami yang marah.
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas, kamu de’! Bisikku gemas.
”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti. Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.
”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap. Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.
”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis diary terhenti.
”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.
”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau terima!” balasku agak keras.
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.
Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser. Mami tidak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
Kepada Calon Suamiku….
Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.
Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu, meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.
Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.
Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang tak terhitung.
Calon suamiku….
Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.
Calon suamiku….
Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak dalam keadaan jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita, sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.
Wassalam,
Adinda
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
”Syahril… Nama saya Syahril.”
Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar suara Papi memanggilku.
”Ajeng…!”
Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri dengan senyum khasnya.
”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho, kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.
”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya Nak?”
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.
“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa jihad bareng….”
Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar, melirikku.
”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.
Aku masih terpana.
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???


Sumber : Majalah Annida, No. 12 1415 H/1994 M

Salam Berbuah Cinta

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam “Assalaamu’alaikum” kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. “Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa, ” alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembali mengucapkan, “Assalaamu’alaikum Dik… ” Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan “Assalaamu’alaikum” biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, “maunya apa sih?”

Tak Cukup Hanya Cinta

“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah”.
“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

(Sumber : http://bundanaila.blogspot.com)

Selasa, 26 Januari 2010

Aku Ingin Mencitaimu Dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *


Sumber : Majalah Ummi, edisi 12/XIII/2002