Kamis, 28 Januari 2010

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk keduamempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh HasanAl-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur RumahSakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.…”
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsipernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungaiNil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akandisampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nantimungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengankesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol ditelevisi itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkahmenuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuanberbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yangtegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsungshoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagangkacamatanya, lalu…
Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnyapara ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali iniperkenankan saya bercerita…Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukancerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambilhikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglahlumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkankesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.Tiga puluh tahun yang lalu …Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah keatas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormatdi negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluargaaristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolanSorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elitpolitik di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalamsuasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidupsepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluargabesar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat ataukalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Sayamerasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakankeluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebihmerasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawahyang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal initernyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dantidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orangyang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggapmemalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampumengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah denganselera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur didalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalahhotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan denganistana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kalisaya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agarlebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliaumenolak mentah-mentah.
“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantahhabis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuhpesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dankemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relunghatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dankecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telahmenemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cintaini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Makadatanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kamiingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati padakeluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dansaudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dankecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaianserta tutur bahasanya yang halus.Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu sayaberitahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelasyang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidakboleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahandengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak sayanyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang takterkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlakusedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukangcukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan denganbangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baikkepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyakdilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidakmengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdirisendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawapacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibulangsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adilseperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidakdirestui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang keberapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup daristrata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacaradik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabatkeluarga besar Al Ganzouri.”Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayahsaya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamatsudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yangjelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidupsaya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasanganbercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selainmenikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakinikebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Denganpenuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapanbeliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwatailla billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahuipenolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkanputrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebihkeras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikahdengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahanini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolakkarena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanyakenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiripenderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantorma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akadnikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terimanikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kitasepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mataAllah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkankesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kamimembuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitumencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dansegala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawaapa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uangsebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayarongkos akad nikah di kantor ma’dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragislagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu dijalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat padapuncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsaracampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kacabertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasaberdaya dan hidup menjalari sukma kami.“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.Maafkan Kanda!”“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telahberpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisamenghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kandatetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepadamereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatuketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kitaberikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kitasaat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasaoptimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagiteringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dansebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaandan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk diemperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalamkebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkinkami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisauang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yangmurah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembalibahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginyaberdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang danperjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasilmenemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagikaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalahuntuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayanganmereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jikaseorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagaimendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedangmembutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan danuang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kamipergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuahkasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dansatu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itusaja… tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetapbahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaanmelebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagiaadalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di duniamerindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhancinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikangambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jikapercintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat darisemua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang palingnikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saatAllah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhakmenikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an danSunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhakmemperoleh segala cinta di surga.Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurusmendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiadaputus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyahyang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalahdokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yangberkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpabantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandaimengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelahmembayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipunmencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan deritahidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yangbilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapakami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecillayaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agarmenitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokteryang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantumembersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolonganmereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kamiterima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggilsama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkanmereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedordan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segalaperkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitujuga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya merekarobek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalumereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena beranimenentang Tuan Pasha.”
Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itupangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berduaberpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalukami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yangberserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yangsobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Mejadan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidurkecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilahsumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hiduptenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancangskenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tunasusila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapakkaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkanniat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasilmemperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agarmenceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidakmenjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakansaya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil memintabeliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turunmarahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkansegala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahunpenuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidakada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatanisteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatanhamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan diamendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat AllahSWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepadakekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malamitu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Iatersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorangpenyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langitKukatakan kepadanyaDi sana… di atas lautan pasir kita akan berbaringDan tidur nyenyak sampai subuh tibaBukan karna ketiadaan kata-kataTapi karena kupu-kupu kelelahanAkan tidur di atas bibir kitaBesok, oh cintaku… besokKita akan bangun pagi sekaliDengan para pelaut dan perahu layar merekaDan akan terbang bersama anginSeperti burung-burung
Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapadan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun diaternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk programMagister bersama!
“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saatpaling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagaidokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidakberperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelarMagister dan menjawab logika yang saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawarandari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabarsebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguksum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kitawujudkan mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atauketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku punluluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dankekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasukihidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhankuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kamihidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yangkami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam harikami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalamsuatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obatidengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untukbeli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesalatau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepadasaya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnyahidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakanyang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luarbiasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasasayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalahwajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akanmengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengansenyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambiltersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelarMagister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kamibelum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masihhidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enakdalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kamiberhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untukpertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenalhidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembalitidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua diHeliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelahmemiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembalimengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program DoktorSpesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor diLondon. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnyakita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup dinegara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelarDoktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialisjantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja barudi Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagaidirektur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajardi Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai diadengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka danduka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnyamenunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidupbahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidupmenderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swtdan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirinsekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menundukdi barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab HudaSulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaanbisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosokperempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuanitu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata HudaSulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dansegenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.


(Sumber: http://lenijuwita.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar